Pages

Sunday, June 26, 2011

Catatan ringan: Old Same Beggar (Heart and Brain)

Diambil dari catatan seorang senior di HMI, Kakanda Putra Rizkiya

Aku masih teringat kajian MMI dua minggu lalu tentang sedekah. Seorang kawan ustad datang jauh-jauh dari Giesen memberikan kajian agama tentang sedekah, salah satu tema favorit para dai di Indonesia. Hampir di setiap ceramah atau khutbah disampaikan tentang pentingnya sedekah. Begitu seringnya kita mendengarnya sehingga kita sendiri lupa akan esensinya dan kadang-kadang kita menganggapnya sebagai angin lalu. Come on, sedekah hanyalah sunah. So, lakukan atau tidak lakukan itu terserah kita, ada untungnya, tidak ada ruginya. Hmm, sudah sebegitu rendahkah kita memandang sedekah??
Mungkin aku sendiri sudah menganggap sedekah sebegitu rendah. Aku punya hak untuk menyalahkan media karena berita-berita memprihatinkan mereka tentang beberapa pengemis licik, orang-orang yang memanfaatkan mereka untuk mengais keuntungan dari kesusahan orang, cerita tentang para pengemis di sebuah kota di Indonesia yang diceritakan merusak kaca spion mobil orang untuk memaksa orang memberikan uang, trik-trik licik seperti jika seseorang memberikan uang kepada seorang pengemis kemudian langsung datang kerumunan pengemis lain sambil merusak eksterior mobil yang mahal. Aku bisa mengatakan bahwa ya, cerita-cerita seperti itu memang berpengaruh pada kita.Ia meracuni otak kita, poison of the media.
Otak kita memfilter cerita-cerita seperti itu dan lama-lama membuat kita menganggap bahwa adalah pintar untuk tidak memberikan uang pada pengemis licik seperti mereka dan tanpa kita sadari , perlahan-lahan otak kita mengambil alih kuasa akan nurani amaliah kita. Then, in some point, we don't even care of them. Our brain says, it is a smart decision. Help them is like letting yourself got punked. Membantu mereka sama saja dengan membiarkan kita sendiri tertipu, oleh rintihan palsu dan permohonan palsu. Otak menguasai kita, hati kita terpenjara. Otak kita sesungguhnya tidak memfilternya. Ia secara membabi buta mengambil alih hati kita. Salahkan isu-isu tersebut yang meracuni otak kita.

 ***
Dua minggu lalu aku masih ingat aku merasakan sesuatu yg kurang. Seperti aku yang dulu di Jogja, ketika aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan pikiranku, aku selalu menyalahkan rambutku yang mulai panjang. Analisis yang aneh, but, for me, it works. Otakku mengajarkan, rambut poni yang panjang mungkin adalah penyebabnya, ia mengganggu pandangan, menyusahkan, dan sebagainya. Dan entah kenapa aku selalu merasa lebih segar, lebih bersemangat setalah memotong rambut. So, dua minggu lalu, aku pergi ke seorang tukang cukur asal Maroko di Mesjid Pakistan dekat studentenwohnheimku. His story helps me find the answer for this empty soul. Dia bercerita bagaimana hati menjadi lebih bahagia jika ia dimandikan dengan amal dan doa.
Ia bercerita tentang pengalaman umrahnya. Saat itu, ketika sedang dalam umrah di Madinah, istrinya tiba-tiba sakit. Ketika shalat, ia harus meninggalkan istrinya yang sedang sakit di kemah untuk shalat berjamaah. Namun ketika ia pulang, ia menemukan istrinya menangis. Kenapa? Karena ia sangat bahagia. Istrinya bercerita, sekelompok jamaah wanita dari Indonesia, melihatnya terbaring sakit di kemah. Para jamaah asal Indonesia itu memutuskan untuk menemani istri tukang tersebut dan memutuskan untuk shalat berjamaah bersamanya di tenda.
Ia tersentuh dengan hati mulia para jamaah Indonesia tersebut yang shalat berjamaah dengannya dan mendoakannya. Ia menangis bahagia. Sang tukang cukur menceritakan adegan tersebut sambil meletakkan tangannya di depan hatinya. Ihre Herz weinen. Hatinya menangis bahagia. Kekuatan kebaikan hati sampai sekarang meninggalkan kesan luar biasa di hatinya. Sekuat itulah kekuatan hati jika hati yang baik menguasai kita.
Sang tukang cukur tersebut, mungkin terkesan dengan pembicaraan kami selama memotong rambutku, menutup pembicaraan kami dengan berkata: Ich bete fur dich mein Bruder. Kata yang sering kita dengar di Indonesia adalah kata yang jarang di negeri minoritas muslim. Ya, akhirnya hatiku mendapatkan siraman doa dari seorang saudara asal Maroko. Aku tersenyum senang dengan kata-katanya karena aku telah lama tidak mendengarnya. Doa seseorang menyirami hati kita dan saat itulah hati kering tersiram kembali dengan siraman doa dan jiwa kita pun terisi dengan perasaan bahagia. Sebagai hadiah atas tersentuhnya hatinya terhadap kebaikan hati wanita-wanita Indonesia tersebut, aku mendapatkan dua buku doa dari tukang cukur Maroko tersebut.

 ***
Bahkan di kota sekaya pun Frankfurt ada pengemis. Jika aku berjalan di Kaiserstrase di sekitar stasiun utama Frankfurt, aku selalu melihat seorang pengemis wanita tua berjilbab yang sama di tempat sama. That old same beggar. Setelah kajian MMI tersebut dan cerita tentang kebaikan hati sang tukang cukur tersebut, aku bertekad untuk kali ini memberikan sesuatu pada wanita tersebut. Aku mengaku saja, aku selalu mengabaikan wanita tersebut sebelumnya. Seperti biasa, otakku (atau mungkin setan berkata): Halo Putra, wanita ini mungkin sebenarnya tidak berjilbab, ia berjilbab untuk menarik perhatian mayoritas muslim di sekitar bahnhof. Ia mungkin orang dari Eropa Timur yang pura-pura berjilbab. Pikiran yang lebih buruk berkata: Ia mungkin akan menggunakan sedekahmu untuk membeli lotere, dsb.

So dimulai beberapa minggu lalu ku bertekad untuk bersedekah untuknya.
Dua minggu lalu, sekitar 20 meter sebelum aku melewatinya, aku mempersiapkan diriku untuk bersedekah untuknya. Namun, ketika aku merogoh sakuku, aku menyadari bahwa aku lupa mempersiapkan uang receh dan malas membuka dompetku di depan orang. Jadi, aku hanya melewati wanita tersebut. Hatiku kalah.
Tengah pekan, aku kembali lewat di depan wanita tersebut. Ketika aku melewatinya, wanita tersebut tengah bercakap dengan seorang pria. Otakku berkata "mungkin pria tersebut adalah orang yang mengirimnya, keluarganya yang sebenarnya mampu, entah darimana aku mendapatkan pikiran buruk ini. So, aku hanya melewatinya. Hatiku kembali kalah.
Hari ini aku kembali melewati wanita malang tersebut. Kali ini adalah momen yang sempurna. Aku baru selesai belanja dengan uang recehan tersisa. Wanita tersebut sedang tertidur dengan tangannya memegangi sebuah gelas. Di tengah keburu-buruanku, aku merogoh sakuku dan mendapatkan recehan satu euro dan 50 cent. Aku, Otakku memilih dalam waktu singkat sekian detik, berikan yang 50 cent saja. Pilihan yang membuatku berpikir, sekering itukah hatiku saat ini? Tapi aku mencoba menghibur diriku sendiri: tidak buruk, paling tidak, kamu sudah bersedekah hari ini.
Akhirnya aku menyedekahkan sesuatu untuk wanita tersebut. Ironisnya, itu adalah di bulan ke sembilanku di Frankfurt. Mungkin karena inilah, aku merasa hatiku kosong selama ini. Selama sembilan bulan, ia tidak pernah dimandikan dengan doa orang lain. Aku berpikir, mungkin saja wanita tersebut tidak mendoakanku. Tapi, malaikat pasti tersenyum melihatku mencoba menemukan kembali hatiku.
Tapi tetap saja aku tersenyum mengingat bagaimana aku memilih uang 50 cent tersebut dibanding uang 1 euro. Akhirnya aku mendapatkan apa yang salah denganku selama ini. Dalam bersedekah, aku terlalu banyak berpikir dengan otakku dan meninggalkan hatiku.

Maybe the best solution for Sadaqah is "do not think, just do it"!! simply because: brain has no love and feeling, heart does.

And maybe, to heal our heart, there is nothing better than a pray from a poor stranger..