Pages

Tuesday, November 27, 2012

Sebatang Lisong


Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan

Aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membenturi meja-meja kekuasaan yang macet
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjaaang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya

Menghisap udara yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita-wanita bunting
antri uang pensiun

Dan di langit
para tekhnokrat berkata:
bangsa kita adalah bangsa yang malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimport

Gunung-gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes terpendam
terhimpit di bawah tilam

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat para penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samudra

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing
diktat-diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

Kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa-desa
menghayati sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

Ini sajakku
pamflet masa darurat

Apalah artinya renda-renda kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
Apalah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

Kepadamu
Aku bertanya

W.S. Rendra
19 Agustus 1977, ITB Bandung
(Potongan film 'Yang Muda Yang Bercinta' 1977)

Saturday, November 24, 2012

Public Transportation

"A developed country is not a place where THE POOR have CARS. 
It's where THE RICH use PUBLIC transportation." - Mayor of Bogota

ArchEvent 2012: Life for Bengawan Solo

Sayembara ArchEvent 2012
Tema :  Life for Bengawan Solo
Peringkat : Juara 5
Pelaksana : Arsitektur UNS, Solo

Perencana : Rendy B. Aditya, Rachman Hanifa
Arsitek : Ardhyasa Fabrian Gusma
Insinyur Mesin : Anang Dianto

Judul : Energi Terbarukan Aliran Bengawan Solo
Lokasi : Kampung Sangkrah, Kota Surakarta

Poster:




Perspektif:




Panorama:




Thursday, November 22, 2012

Mengelola Wilayah Pesisir Berbasis Hak Nelayan

Lomba Esai Nasional EGSA FAIR 2012
Tema: Optimalisasi Peran Wilayah Pesisir Dalam Pembangunan Daerah
Peringkat: -
Pelaksana: EGSA Geografi UGM

Ironis, melihat kondisi para nelayan yang ada di Indonesia saat ini. Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo memaparkan bahwa jumlah nelayan miskin saat ini tercatat sebanyak 7,87 juta jiwa. Angka tersebut sama dengan 25,14% dari total jumlah penduduk miskin di Indonesia (lensaindonesia.com, 6 April 2012 diakses November 2012). Padahal sebagai sebuah negara maritim yang kaya akan sumberdaya alam, persoalan tersebut seharusnya tidak terjadi. Gambaran tersebut mengingatkan kita tentang sebuah anekdot: tikus yang mati kelaparan di lumbung padi.

Sebagai gambaran betapa kayanya sumberdaya alam Indonesia terutama yang ada dan tersimpan di kawasan pesisir dan lautan dapat dilihat pada beberapa poin di bawah ini (Sunoto, 2010):
a. Luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km2 atau 2/3 luas wilayah Republik Indonesia dengan panjang garis pantai 95.181 km.
b. Potensi sumberdaya perikanan tangkap 6,4 juta ton per tahun.
c. Potensi tambak adalah sekitar 1.224.076 ha, tapi yang terealisasi barulah 612.530 ha.
d. Potensi budidaya laut sekitar 8.363.501 ha, tapi realisasi hanya 74.543 ha, jauh dari angka yang ditargetkan.

Adanya kontradiksi fakta antara potensi kelautan Indonesia dengan kondisi sosial-ekonomi nelayan saat ini, nampaknya perlu untuk menyoal kembali strategi pengelolaan kawasan pesisir yang selama ini telah dilakukan. Sudahkan program-program pembangunan yang saat ini berjalan atau akan berjalan benar-benar diformulasikan sesuai dengan pokok persoalan yang sedang dihadapi bersama. Tulisan berikut akan mencoba memaparkan beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk mengembangkan kawasan pesisir dengan pendekatan pembangunan berbasis hak nelayan.

Pengelolaan Berbasis Masyrakat: Tinjauan Teoritis

Pengelolaan Berbasis Masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan dimana masyarakat lokal di kawasan tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya (Nurmalasari). Rustiadi (2003) menjelaskan bahwa paradigma pembangunan saat ini telah bergeser. Kegiatan pembangunan tidak lagi dimotori secara sentral oleh pihak pemerintahan. Namun semestinya ditujukan dan dilakukan oleh masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Hal ini dilakukan demi terciptanya penyesuaian antara kapasitas masyarakat lokal dengan keadaan lingkungan serta potensi sumberdaya alamnya. Pemerintahan hanya menjadi fasilitator pembangunan, penyedia infrastruktur publik, serta merancang kebijakan dan struktur insentif ke arah peningkatan produktivitas pelaku ekonomi. Artinya, pendekatan pembangunan saat ini adalah pembangunan ekonomi yang berbasis komunitas lokal (Local Community-Based Economy).

Perumusan kebijakan pembangunan serta pengelolaan wilayah pesisir yang selama ini lebih banyak dilakukan secara top-down serta tidak memihak pada hak-hak nelayan sudah terbukti tidak cukup efektif untuk memberikan kesejahteraan bagi penduduk di wilayah pesisir (Nurmalasari). Menyerahkan kembali kepada penduduk lokal, kesempatan bagi mereka untuk mengkaji dan menginventarisasi potensi dan masalah yang menjadi prioritas untuk dikembangkan dan diselesaikan mungkin bisa menjadi jalan keluar untuk mengurangi kemiskinan para nelayan.

Secara skematis, berikut ini adalah aspek-aspek pengelolaan pesisir yang dapat difasilitasi oleh pihak pemerintahan dan dikelola bersama dengan masyarakat lokal:


Gambar 1. Aspek Pengelolaan Pesisir 
Sumber: dimodifikasi dari Kodoatie dan Sjarief, 2010 

Atas dasar itu maka dalam mengembangkan kawasan pesisir baik secara ekonomi, sosial, ataupun spasial sudah sepatutnya pula memperhatikan sumber daya lokal (local community-based resource) yang tersedia. Penduduk lokal di wilayah pesisir dengan dominasi mata pencarian nelayan harus diikutsertakan dalam perumusan kebijakan yang akan diimplementasikan sebagai program pembangunan wilayah pesisir. Dengan kata lain, hak nelayan untuk menyatakan pendapat, menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanya seyogyanya menjadi dasar dan masukan dalam formulasi kebijakan. Tidak hanya sampai di situ, masyarakat pesisir dan para nelayan juga harus diberikan haknya untuk mengelola daerahnya secara penuh sehingga mereka tidak menjadi orang yang terpinggirkan di daerahnya sendiri. 

Hak-Hak Nelayan

Berikut ini adalah strategi yang dapat dilakukan untuk mengembalikan hak-hak nelayan dan penduduk lokal dalam konteks pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir:

1. Penataan ruang berbasis masyarakat
Salah satu hak masyarakat dalam pembangunan adalah peran aktif dalam penataan ruang (Kodoatie dan Sjarief, 2010). Oleh sebab itu penataan ruang wilayah pesisir sudah harus dilakukan dengan pendekatan partisipatif yang berbasis pada nelayan dan penduduk lokal. Dengan begitu pengaturan pemanfaatan ruang serta pengendalian ruang dapat secara langsung dilakukan oleh penduduk yang ada di wilayah pesisir dan konflik dapat diminimalisir. Selain itu, nelayan dan penduduk lokal pesisir dapat merasakan langsung manfaat dari penataan ruang yang mereka rumuskan bersama dengan pemerintah. 

2. Pesisir sebagai kawasan strategis
Dalam kacamata ekonomi wilayah, kawasan strategis dapat memberikan efek berganda (multiplier effect) secara lintas sektoral, lintas spasial, maupun lintas stakeholders (Rustiadi, 2012). Dengan mengembangkan wilayah pesisir sebagai kawasan strategis maka diharapkan akan memicu perkembangan ekonomi sektor-sektor lainnya, menggerakkan ekonomi masyarakat secara luas, dalam arti tidak terbatas ekonomi masyarakat kelas-kelas tertentu saja. 

3. Penyediaan fasilitas dan infrastruktur
Nelayan diberikan fasilitas dan infrastruktur yang lengkap untuk memaksimalkan potensi sumberdaya di wilayahnya. Misalnya dengan bantuan fasilitas untuk melaut seperti perahu, atau dengan menyediakan fasilitas budidaya perikanan tambak. Jaringan jalan, jaringan listrik, serta ketersedian air bersih juga menjadi faktor penting untuk mengembangkan wilayah pesisir yang terpusat pada para nelayan dan penduduk lokal. 

4. Konservasi wilayah pesisir berbasis masyarakat
Nelayan difasilitasi oleh pemerintahan dan bekerjasama dalam melakukan perlindungan dan pelestarian wilayah pesisir. Nelayan sebagai penduduk lokal tentu memiliki tingkat interaksi dengan alam dan lingkungan lebih besar, oleh karenanya kondisi tersebut dapat dimanfaatkan agar penduduk lokal menjadi pelaku utama konservasi wilayah pesisir tersebut. 

5. Transfer teknologi dan informasi 
Selama ini kualitas SDM di wilayah pesisir sering terlupakan karena program pembangunan lebih banyak melibatkan dan berfokus pada wilayah perkotaan. Padahal sebuah proses edukasi kepada nelayan dan penduduk lokal memegang peranan kunci untuk meningkatkan SDM di wilayah pesisir. Transfer teknologi dan informasi mengenai hal-hal terkait optimalisasi hasil perikanan dan kelautan serta potensi pengembangan wilayah pesisir dapat dilakukan agar nelayan dan penduduk wilayah pesisir dapat mengelola sumberdaya lokalnya dengan baik. 

Kesimpulan 

Mengembangkan daerah pesisir dengan tujuan untuk mensejahterakan nelayan dan penduduk lokal dapat dilakukan dengan menjadikan mereka sebagai pelaku utama pembangunan. Dengan mengembalikan hak-hak nelayan untuk merencanakan serta mengelola sumberdaya lokal yang ada di daerahnya dengan lima strategi: (1). Penataan ruang berbasis masyarakat (2). Menjadikan pesisir sebagai kawasan strategis (3). Menyediakan fasilitas dan infrastruktur yang memadai bagi para nelayan (4). Melakukan konservasi wilayah pesisir berbasis masyarakat lokal serta (5). Memberikan bekal teknologi dan informasi terbaru tentang perikanan, kelautan, dan pengelolaan daerah pesisir. 

Daftar Pustaka 

Damanik, M. R. (2010). Menggagas Tata Ruang Perairan Berbasis Hak Nelayan dalam Bulletin Penataan Ruang Edisi Mei-Juni 2010. 

Sunoto, (2010). Arah Kebijakan Pengembangan Konsep Minapolitan di Indonesia dalam Bulletin Penataan Ruang Edisi Maret-April 2010. 

Rustiadi, (2003). Pengembangan Wilayah Pesisir sebagai Kawasan Strategis Pembangunan Daerah. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (ICZPM), kerjasama PKSPL IPB dengan Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 Agustus – 18 Oktober 2003, di Bogor. 

Nurmalasari, Y. (tahun tidak diketahui). Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. 

Kodoatie R. J. Dan Sjarief R. (2010). Tata Ruang Air. Yogyakarta: Penerbit Andi. 

Website 

http://www.lensaindonesia.com/2012/04/06/gawat-nelayan-miskin-di-indonesia-capai-78-juta-orang.html diakses November 2012

Monday, November 19, 2012

Universitas Kehidupan

Ketika kerjamu tak dihargai, maka saat itu kau sedang belajar arti ketulusan

Ketika usahamu dinilai tidak penting, maka saat itu kau sedang belajar arti keikhlasan

Ketika hatimu terluka sangat dalam, maka saat itu kau sedang belajar arti memaafkan

Ketika kau harus lelah dan kecewa, maka saat itulah kau sedang belajar arti kesungguhan

Ketika kau merasa sepi, maka saat itu kau sedang belajar arti ketangguhan

Ketika kau harus membayar biaya yang seharusnya tidak perlu kau tanggung, maka saat itu kau sedang belajar arti kemurahan

Tetap semangat, tetap sabar, tetap senyum, dan terus belajar karena engkau sedang menimba ilmu di Universitas Kehidupan.

Selamat! Teruslah #BekerjaUntukIndonesia.

Sms dari Babeh tercinta, 19 November 2012

Friday, November 16, 2012

Mengentaskan Kemiskinan Melalui Pariwisata dan Industri Kreatif

National Essay Writing Competition FEM Tribute to Bogor : The 2nd Bogor Art Festival
Tema: Pariwisata Sebagai Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Kreatif di Indonesia
Peringkat: Juara 2
Pelaksana: BEM FEM Institut Pertanian Bogor

Kemiskinan masih menjadi indikator keberhasilan sebuah pembangunan terkait dengan upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Berhasil tidaknya sebuah daerah dalam melaksanakan pembangunan akan pula diukur dari banyaknya jumlah penduduk miskin secara kuantitatif ataupun kualitatif. Biasanya masalah kemiskinan tersebut akan pula dihubungkan dengan masalah penggangguran dan lapangan kerja serta kualifikasi dari para pencari kerja yang tidak mencukupi untuk dapat bekerja di sebuah perusahaan. Faktor-faktor tersebut diyakini menjadi akar permasalahan dari kemiskinan yang terjadi di kota-kota.

Demikian pula yang terjadi pada Kota Bogor. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 berjumlah 91.200 jiwa atau sekitar 9,47% dari total seluruh penduduk. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari angka 91.710 jiwa atau 8,82% (http://bogorkota.bps.go.id, diakses September 2012). Yang juga memprihatinkan adalah angka pengangguran di Kota Bogor. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan bahwa pada akhir tahun 2011 jumlah pengangguran di Kota Bogor meningkat menjadi 42.475 orang (pikiran rakyat, 2012). Faktor yang menyebabkan masalah ini antara lain kurangnya tingkat kualifikasi pencari kerja dengan standar kualitas yang dimiliki oleh perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja tersebut.

Efek Berganda Pariwisata 

Ada banyak alternatif cara yang bisa ditempuh untuk dapat mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di sebuah kota. Pariwisata adalah salah satu sektor yang dianggap bisa memberikan solusi bagi masalah-masalah kemiskinan. Dengan cakupan kegiatan yang sangat luas yang dimiliki oleh pariwisata, sumbangaa dari sektor tersebut dapat dioptimalkan untuk memberikan efek berganda (multiplier effect) dalam berbagai sektor misalnya kesempatan kerja, peluang wirausaha, serta distribusi pendapatan yang lebih merata (Damanik, 2005). Efek yang diberikan tentu akan sebanding dengan banyaknya potensi wisata yang ada di sebuah daerah. Sebagai contoh Kota Bogor yang memiliki ODTW (Obyek Daya Tarik Wisata) terdata sebanyak dua puluh obyek (http://www.kotabogor.go.id/ diakses September 2012) atau mungkin lebih. Potensi wisata tersebut tidak termasuk dalam agenda-agenda wisata yang bersifat festival ataupun pertunjukan (misalnya Bogor Art Festival) yang juga memberikan daya tarik tersendiri. Fakta tersebut memberikan harapan bahwa pariwisata di Kota bogor bisa dioptimalkan untuk menjadi pemacu bagi industri-industri pendukung lainnya seperti industri kreatif.

Mengapa Industri Kreatif? 

Untuk mengawali pemahaman tentang industri kreatif, maka dapat dilihat definisi berikut: 

Industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.” (Depdagri, 2009) 

Indonesia sedang sangat gencar melakukan pengembangan industri kreatif. Hal ini didasari beberapa studi yang menyebutkan bahwa industri kreatif berkembang sangat besar sebagai sektor penyumbang ekonomi daerah dan nasional. Studi itu diawali oleh seorang Amerika bernama John Howkins pada tahun 1996 yang menyebutkan bahwa industri kreatif telah memberikan nilai ekspor sebesar 600 triliyun rupiah di Amerika. Diperkirakan nilai tersebut juga akan sama terjadi pada negara-negara lainya sehingga nilai ekonomi dari industri kratif secara global menjadi penyumbang ekonomi yang cukup signifikan (Simatupang, 2007). Pada tahun 2006, industri kreatif berhasil menyumbang angka Rp 104.787.209.313.000 atau sekitar 5,67% (Depdagri, 2008).

Bagi sektor lapangan kerja, industri kreatif juga menawarkan peluang lapangan kerja dan usaha yang tinggi. Sekitar 5% peluang kerja ditawarkan oleh industri kreatif. Namun disayangkan, selama beberapa tahun ini memang penyerapan tenaga kerja industri kreatif sedikit berkurang. Hal ini bisa diatasi dengan kerjasama antar berbagai stakeholder yang berhubungan dengan industri kreatif. Akan tetapi secara garis besar, harapan pada industri kreatif untuk dapat menyediakan lapangan kerja di masyarakat masih dapat diandalkan.

Gambar 1. Sumbangan Industri Kreatif dalam Menyerap Tenaga Kerja Tahun 2006 
sumber: Depdagri, 2008 

Selain dalam sektor ekonomi tersebut, industri kreatif yang didukung oleh ekonomi kreatif juga memiliki kelebihan dan keuntungan sebagai berikut:

Gambar 2. Efek Berganda Ekonomi dan Industri Kreatif
sumber: Depdagri, 2008 

Kontribusi pariwisata bagi industri kreatif Seperti hal yang sudah dipaparkan di atas bahwa pariwisata dapat memberikan efek berganda (multiplier effect) pada sektor ekonomi terutama dalam penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Ini berarti ada kesempatan pula bahwa sektor pariwisata dapat menjadi stimulan pada industri-industri terutama industri kreatif yang ada di Kota Bogor. Tentu dengan menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri kreatif yang mendukung kegiatan-kegiatan wisata di daerah tersebut.

Secara nyata hubungan pariwisata dengan industri kreatif kurang lebih ada dua yaitu:

a. Pariwisata sebagai pasar (marketing) hasil industri kreatif
Walaupun tidak selamanya industri kreatif berkaitan dengan pariwisata, namun pemasaran hasil-hasil industi kreatif banyak didominasi kepada lokasi-lokasi wisata ataupun pada saat acara-acara wisata seperti festival dan pertunjukan. Hal ini memberikan kaitan yang erat antara pariwisata sebagai stimulan bagi perkembangan industri kreatif karena pariwisata menjadi wadah dalam menjual dan menawarkan hasil-hasil industri kreatif.

b. Pariwisata sebagai promosi (promoting) hasil industri kreatif
Hubungan kedua antara pariwisata dan industri kreatif ada pada upaya promosi hasil industri kreatif yang sangat membutuhkan kontribusi dari sektor pariwisata. Hasil industri kreatif adalah produk yang sangat digemari dalam acara-acara pameran, pagelaran, dan pertunjukan. Dengan saling memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh pariwisata dan industrik kreatif, keduanya dapat saling mengisi dalam ajang promosi satu sama lain. 

Dengan dua kelebihan antara hubungan pariwisata dan industri kreatif di atas, efek yang dapat diberikan dari pariwisata bagi pengembangan industri kreatif dapat ditingkatkan kembali. Pariwisata dapat menjadi wadah pemasaran (marketing) dan promosi (promoting) industri kreatif. Dengan potensi wisata yang dimiliki Bogor-baik itu wisata yang bersifat obyek/situs ataupun bersifat festival/pertunjukan-maka pengembangan industri kreatif di Kota Bogor tentu harus sangat didukung oleh pariwisata yang ada di daerah tersebut.

Kendala dan tantangan 

Kendala dan tantangan yang saat ini dihadapi oleh industri kreatif memang cukup banyak. Telebih lagi bila industri kreatif yang akan dikembangkan diorientasikan dan bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran. Berikut ini analisa dari kendala dan tantangan yang harus dihadapi oleh banyak pihak terkait dengan capaian di atas:

a. Orientasi pengembangan wisata masih kepada esklusifisme
Infrastruktur pariwisata yang banyak dikembangkan oleh daerah masih mengarah pada infrastruktur yang menyediakan layanan bagi turis asing dengan mengedepankan kemewahan dan eksklusifitas. Padahal untuk mendapatkan infrastruktur yang demikian dibutuhkan modal dan investasi yang besar. Modal dan investasi yang besar tersebut tidak mungkin datang dari masyarakat miskin. Pada akhirnya, pengembangan wisata justru akan lebih menguntungkan para pemilik modal dan bukan masyarakat miskin (Damanik, 2008).

b. Keterampilan masyarakat miskin masih terbatas
Keterbatasan keterampilan, pendidikan, dan kemampuan masyarakat miskin dalam menggali kualitas dirinya masih dianggap sebagai kendala terbesar pengembangan industri kreatif dan pariwisata.

c. Dukungan pemerintah bagi industri kreatif kurang
Peran pemerintah bagi industri kreatif adalah sebagai katalisator, fasilitator, regulator, investor dan penentu kebijakan perkotaan (Depdagri, 2008). Disayangkan, dukungan tersebut masih sangat sedikit. Keberpihakan pada industri kreatif dengan berorientasi pada penanggulangan kemiskinan menjadi kendala sulitnya mengembangkan industri kreatif oleh masyarakat-masyarakat menengah ke bawah.

Solusi dan implementasi 

Dengan mencoba untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka berikut inilah solusi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pariwisata dan industri kreatif bagi pengentasan kemiskinan. Solusi berikut ini diambil dari berbagai sumber (Damanik, 2008, Simatupang, 2007, Depdagri, 2008, Gruidl dan Markley 2009, Chhabra dan Phillips 2009):

a. Pengembangan masyarakat (community development) miskin dengan kewirausahaan (entrepreneurship). Pengembangan masyarakat masih dinilai sebagai model dengan tingkat keberhasilan tinggi untuk usaha mengentaskan kemiskinan. Selain hal itu, kewirausahaan juga menjadi faktor penting karena industri kreatif lebih banyak bersaing dan memberikan keuntungan pada sektor-sektor wirausaha seperti: kerajinan, pertunjukan, olahan makanan, barang kesenian, fashion, dan lainnya. Ini akan mendorong masyarakat miskin untuk menjadi pemasok dan penjual utama barang dan jasa bagi wisatawan.

b. Menjadikan masyarakat miskin menjadi sumber utama tenaga kerja pada sektor-sektor pariwisata dan industri kreatif. Penyerapan tenaga kerja di sektor pariwisata dan industri kreatif harus lebih mengutamakan masyarakat miskin. Tentunya dengan terlebih dahulu membekali mereka keterampilan pada bidang yang akan digelutinya.

c. Investasi infrastruktur yang mendukung pariwisata dan industri kreatif dengan berorientasi pada standar kualitas, bukan pada ekslusifitas. Dengan begitu, semua orang akan mendapatkan akses yang sama untuk berinvestasi dan mendapatkan keuntungan. Mengutamakan standar kualitas tidak mengharuskan modal dan investasi yang besar.

d. Menciptakan iklim kota yang kreatif. Iklm kota yang kreatif dapat diciptakan dengan membangun ruang-ruang kreatif di kota. Ruang kreatif kota dapat berupa ruang publik, taman, gedung kesenian, pameran, dan pertunjukan, museum dan sebagainya. Pada intinya, ruang kreatif ini berguna untuk membentuk komunitas-komunitas kreatif yang akan menginspirasi dunia industri kreatif.

e. Insentif dan disinsentif pada pelaku usaha industri kreatif dan pengembangan budaya. Hal ini menjadi penting untuk menarik investor agar mau mengembangkan usaha pada bidang industri kreatif sehingga lebih menambah kembali peluang kesempatan kerja bagi masyarakat miskin.

f. Kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya universitas, komunitas kreatif, organisasi pengusaha. Kerjasama ini ditujukan untuk meningkatkan manfaat hasil riset yang dimiliki universitas sebagai sebuah edukasi dan inovasi, mendapatkan inspirasri dari komunitas-komunitas kreatif, serta membuka peluang investasi lebih besar dari para pengusaha. Ketiga peran tersebut akan sangat membantu masyarakat miskin membangun industri kreatif.

Daftar Pustaka 

Chhabra, D. dan Phillips, R. “Tourism-Based Development” dalam Phillips R., dan Pittman, R. H. (editor). (2009). An Introduction to Community Development. Oxon: Routledge.

Damanik, J. “Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata: Dari Konsep Menuju Implementasi” dalam Damanik J., dkk. (editor). (2005). Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata. Yogyakarta: Pusat Studi Pariwisata UGM dan Kementrian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.

Departemen Dalam Negri. (2008). Studi Industri Kreatif Indonesia: Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015.

Departemen Dalam Negri. (2009). Studi Industri Kreatif 2009: Update.

Gruidl, J. dan Markley, D. M. “Entrepreneurship as a Community Development Strategy dalam Phillips R., dan Pittman, R. H. (editor). (2009). An Introduction to Community Development. Oxon: Routledge.

Simatupang, T. M. (2007). Ekonomi Kreatif: Menuju Era Kompetisi dan Persaingan Usaha Ekonomi Gelombang IV. Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung.

Saturday, November 10, 2012

Nilai Profetik sebagai Karakteristik Muslim Indonesia

Lomba esai OCEAN 2012 (Olympiade Islamic Lesson and Essay Competition) 
Tema: Explore Your Talent To Be The Best Moslem Generation
Peringkat: Juara 3
Pelaksana: BPPI FE UNS

Mendiskusikan tentang jati diri tentu tidak akan lepas dari persoalan karakteristik, baik itu individu ataupun kelompok (bangsa, negara, dan agama). Memang realita yang terjadi saat ini bangsa Indonesia terutama umat Muslim Indonesia sedang dihadapkan pada krisis jati diri. Jati diri yang mulai terkikis seriring dengan memburuknya karakter yang semakin jauh dari nilai-nilai Illahiah. Berita korupsi, perkelahian dan kerusuhan, serta tindakan kriminal senantiasa menjadi topik berita yang tidak pernah absen sehari-harinya adalah sebuah contoh nyata yang tidak dapat kita tampikan. 

Terlebih lagi jumlah penduduk Indonesia dengan pemeluk agama Islam menempati posisi tertinggi di dunia. Menjadi konsekuensi logis apabila kenyataanya nilai-nilai Islam menjadi dominan di negara ini. Namun akan menjadi ironis bila fenomena-realita di lapangan justru tidak sejalan dengan nilai-nilai mayoritas yang ada di masyarakat, yaitu nilai Islam. Artinya, akan ada kemungkinan kredit-diskredit kepada agama Islam dan umatnya di Indonesia bila kondisi yang kontradiktif ini masih berlangsung. Indonesia, terutama umat muslim di negara ini seakan terpojok akibat citra yang tergambarkan bahwa bangsa muslim (muslim nation) tidak menjamin akan terciptanya kondisi masyarakat yang memiliki nilai-nilai keislaman yang tinggi. 

Lebih lanjut lagi, Madjid (2008: 403-404) menyatakan bahwa sikap menyadari bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa muslim sepatutnya tidak hanya menjadi sebuah realita kultural dan sosiologis, namun juga menjadi sebuah peringatan bagi kaum Muslim Indonesia. Kaum Muslim Indonesia dengan ajaran-ajaran Islam rahmatan lil alamin tentulah harus bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan karakteristik-karakteristik Islami di negara ini. 

Dengan realita yang sudah dipaparkan tersebut, maka pada awal tulisan ini penulis berikhtiar untuk mengungkap pertanyaan paling mendasar yaitu “Adakah konsep karakteristik Islami yang dicontohkan oleh Islam dengan sumber Al-quran dan Al-Hadist?” Pertanyaan ini hadir karena rasa penasaran tentang keberadaan contoh sifat dan sikap yang baik dari Islam itu sendiri. Tentu dengan penjelasan-penjelasan yang menyertainya. 

Hasil pencarian penulis untuk menjawab rumusan masalah yang pertama mengarah kepada firman Allah Swt. berikut ini: 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (keselamatan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 21) 

Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Rasulullah Saw. merupakan contoh yang baik bagi manusia di berbagai bidang. Nilai kenabian tersebut atau juga disebut sebagai nilai profetik itulah yang harus menjadi orientasi manusia dalam pengembangan karakter (character building) dirinya. 

Profetik sendiri berarti nilai kenabian yang digali dari cara Rasul Saw. semasa hidupnya. Nilai profetik pun masih dipandang sebagai sebuah konsep karakter paling sukses dan adaptatif dalam membentuk tatanan kehidupan manusia berkualitas. Nilai ini selayaknya diimplementasikan ke dalam model kehidupan di berbagai lingkup: organisasi sosial, perdagangan, pendidikan, pemerintahan, dan lainya (Mujtahid, 2011). 

Menurut Ustadz Syafi’i Antonio, nilai profetik adalah esensi yang sepatutnya mendasari gerak langkah manusia dalam beraktivitas apapun bentuknya (berdagang, berpolitik, berkeluarga, dan sebagainya). Namun realita yang ada, masyarakat Muslim Indonesia justru melupakan esensi dari sifat-sifat kerasulan Nabi Muhammad Saw. Rasul tidak dibawa dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik masyarakat. Saat seseorang berdagang, ia lupa bagaimana cara berdagang Rasul. Saat seseorang berpolitik, ia lupa bagaimana cara berpolitik Rasul. Rasul Saw. menjadi sosok yang dekat, namun esensinya sebagai sosok suri teladan dilupakan. 

Nilai-nilai profetik dapat dipelajari dari sifat-sifat kenabian yang ada pada diri Rasul Saw. Berikut inilah sifat-sifat kenabian Rasul Saw. yang bisa menjadi inspirasi bagi seorang muslim muda dalam pembentukan jati diri kepemimpinan yang islami (Mujtahid, 2011): 

a. Sidiq (Integrity) 
Secara sederhana sifat sidiq dapat diartikan sebagai kejujuran. Namun secara luas, sidiq juga merupakan sebuah integritas moral yang dimiliki oleh seseorang. Kejujuran dinilai sebagai sebuah modal mendasar dalam membentuk integritas. Kejujuran ini juga merupakan wujud nilai-nilai transendental yang mengarah pada kebenaran yaitu Allah Swt (QS Al Maaidah: 8). Sifat jujur dapat dilatih dengan cara mendapatkan rizki yang halal. Rizki yang halal (didapatkan dengan cara jujur) adalah hal mendasar dari pembentukan integritas karena kejujuran adalah sifat yang hanya dapat dinilai oleh diri sendiri. 

b. Amanah (Responsible) 
Amanah juga dapat diartikan sebagai sifat terpercaya. Sifat ini melatih seseorang pada sifat bertanggung jawab dan dapat diandalkan (QS Al Anfaal: 27). Karakter amanah akan dapat mengasah seseorang dalam memilah dan memilih antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik (QS An Nissa: 58). Karakter ini dapat dilatih dengan cara mengemban tugas. Tugas yang berat akan semakin membentuk kualitas amanah yang baik pada diri seseorang. Oleh sebab itu jangan pernah takut untuk mengambil sebuah kepercayaan untuk memimpin dan menjalankan tugas. 

c. Fathanah (Smart) 
Fathanah adalah karakter seseorang dengan kualitas diri (capacity building) yang baik. Kualitas diri mencakup pada kecerdasan spiritual dan intelektual (QS. Al Mujaadilah: 11) dan keterampilan (skillful). Kecerdasan akan memberikan kepekaan seseorang dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah. Sifat ini dapat dilatih dengan selalu menjadi pembelajar yang baik seumur hidup dengan berbagai cara yang didapat dari pengalaman diri sendiri, pengalaman orang lain, buku, dan berbagai sumber lainnya (QS Al Alaq: 3-5)

d. Tabligh (Communicative) 
Tabligh dapat pula diartikan sebagai kemampuan komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif (Al Hajj: 24), maka seseorang dapat dengan mudah untuk menyampaikan visi dan misinya kepada orang lain (Az Zumar: 18). Komunikasi juga dipercaya sebagai kunci kesuksesan nomor satu. Karakter ini dapat dilatih dengan cara berani berbicara di depan publik dan berani menyampaikan pendapat. 

e. Istiqomah (Consistent) 
Sebuah perubahan ke arah kebaikan tentu membutuhkan peningkatan yang berkelanjutan (continuous improvement). Kerja berkelanjutan membutuhkn niat (commitment) yang total sebagai dasarnya. Ketotalan tersebut dapat ditumbuhkan dengan memurnikan niat perjuangan kita hanya untuk mendapatkan ridho Allah Swt. semata (QS Al Ahqaaf: 13). Dengan niat yang total maka usaha seseorang akan menjadi sungguh-sungguh, pantang menyerah, serta tekun dalam meraih perubahan. 

f. Mahabbah (Care) 
Mahabbah dapat pula diartikan sebagai kepedulian atau kasih sayang. Islam mengajarkan seseorang untuk saling mengasihi dan saling peduli (QS An Nuur: 22), tanpa kebencian dan tanpa paksaan. Karakter ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia ditengah krisis ekonomi yang sedang melanda negri ini. Dengan kasih kepedulian dan kasih sayang, maka orang tanpa segan akan membantu orang lain dengan ikhlas. Karakter ini dapat dilatih dengan menjadi seorang donatur, melakukan puasa, dan mau mendatangi panti asuhan serta kawasan kumuh walaupun hanya sekedar memberi empati pada saudara sesama muslim yang kurang beruntung. 

g. Ma’ruf (Wise) 
Ma’ruf dapat pula diartikan baik dan arif. Menjadi pribadi yang baik dan arif sekaligus menciptakan kebaikan dan kearifan di masyarakat adalah wujud ketaatan pada Allah Swt (QS Ali Imran: 104). Seseorang yang baik nan arif akan mendapatkan simpati dari orang lain. Simpati inilah yang akan membuat orang yakin dan akhirnya percaya kepada seseorang. Karakter ini dapat dilatih dengan cara selalu mengingat Allah Swt. Dengan selalu mengingat Allah Swt. maka kita senantiasa taat terhadap perintah-perintah Allah Swt. sebagai wujud keimanan transendensi kepadaNya. 

Kedelapan sifat itulah yang penulis sebutkan sebagai sifat profetik atau kenabian. Sifat-sifat yang sepatutnya menjadi pedoman seseorang untuk membentuk karakter diri (character building) demi meningkatkan kualitas diri secara vertikal (hablun min Allah) maupun horizontal (hablun min al-nas)

Selain sifat-sifat tersebut, ada pula tugas-tugas yang memiliki esensi kenabian atau profetik. Tugas-tugas profetik ini didasari pada pendapat Kuntowijoyo dalam Muttaqin (2008) tentang ilmu sosiologi profetik dengan mengacu pada penggalan ayat suci Al-quran sebagai berikut: 

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mengajak kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” (QS Ali Imran [3]: 110) 

Tugas profetik ini menjadi hakikat tujuan manusia diciptakan di muka bumi ini karena bersifat transformatif atau mengarah pada perubahan. Adanya sifat tanpa sebuah tugas di masyarakat akan membuat manusia kesulitan untuk mengaktualisasikan karakteristiknya tersebut. Tugas tanpa dibungkus oleh karakter profetik tidak akan memberikan usaha dan kerja yang baik. Kemungkinan yang terjadi justru tindakan kekerasan dan pemaksaan atas nama pemenuhan kewajiban perintah Allah Swt. Dengan kata lain keterkaitan antara sifat profetik dengan tugas profetik yang ada pada diri manusia sangatlah tinggi. 

Ada tiga hal penting berkaitan dengan tugas-tugas manusia yang dapat diambil dari penjelasan ayat tersebut untuk membentuk jati diri dan peradaban umat Islam Indonesia yang berkarakter Islami: 

a. Amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) 
Kutowijoyo memberikan istilah lain pada amar ma’ruf sebagai humanisasi. Humanisasi adalah satu cara untuk memanusiakan manusia atau dengan kata lain adalah saling berbuat kebaikan atau mengajak kepada kebaikan. Al quran menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan yang senantiasa harus dilakukan oleh manusia antara lain: mendirikan solat, menunaikan zakat, menyayangi anak yatim piatu, berbakti pada orang tua, menyayangi kerabat, menepati janji dan ada banyak sekali bentuk kebaikan-kebaikan yang diajarkan oleh Islam dalam Al qur’an dan Hadist. Kebaikan-kebaikan inilah hendaknya selalu ditegakan dan diserukan oleh Umat Islam (QS Al Baqarah: 83 & 177)

b. Nahi munkar (mencegah kejahatan) 
 Kuntowijoyo memadankan istilah nahi munkar dengan liberasi, sebuah semangat pembebasan dan perlawanan. Kejahatan yang terjadi di dunia ini memang lebih banyak disebabkan karena adanya ketidak adilan dan berbagai bentuk penindasan. Sebagai contoh kemiskinan yang terkadang memicu tindakan kriminal disebabkan karena adanya ketidakadilan sosial ekonomi di masyarakat. Tidak hanya dalam sistem ekonomi saja, pembebasan yang dimaksudkan juga merupakan pembebasan pada sistem sosial, politik, serta pengetahuan. Nahi munkar dan semangat pembebasan inilah yang harus diserukan oleh Umat Islam (QS Al Maidah: 8). Bentuk-bentuk kejahatan dan penindasan yang digambarkan Al-Quran antara lain: pembunuhan, perzinahan, pencurian (korupsi), ketidakdilan dan kebohongan (kolusi dan nepotisme) dan masih banyak lagi. Seyogyanya seorang muslim justru melakukan perlawanan terhadap tindakan-tindakan ini, bukan justru terlibat atau bahkan menjadi pelaku utama tindakan-tindakan kejahatan. 

c. Tu’minuu nabillah (beriman kepada Allah) 
Perihal ketiga ini adalah hal yang paling penting yang mendasari amar’maruf nahi munkar di atas yaitu keimanan kepada Allah Swt yang bagi Kuntowijoyo dapat dipadankan dengan istilah transendensi. Nilai ketuhanan ini hendaknya menjadi nilai-nilai poros dalam proses pembangunan jati diri umat (QS Al Hadid: 3). Nilai ini pulalah yang berperan dalam mengarahkan tujuan hidup umat Muslim Indonesia.

Dengan membentuk karakter dan sifat kenabian serta menjalankan tugas kerja kenabian di atas, maka perdaban Islami di Indonesia InsyaAllah dapat dibangun. Jati diri umat Islam yang selama ini terkikis dapat kembali dibentuk. Keterpojokan umat Islam Indonesia karena tidak dapat menciptakan kondisi masyarakat yang adil dan sejahtera dapat diputarbalikan. Tentu dengan senantiasa berdoa dan mengharap kemudahan dari Allah Swt. dalam melakukan perjuangan dan perubahan bagi agama, nusa, dan bangsa. 

Daftar Pustaka 

Al-quran. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. 

Agustian, A. G. (2001). Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga. 

Madjid, N. (2008). Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat. 

Mujtahid, (2011). Tujuh Karakteristik Kepemimpinan Profetik. Malang: UIN Maliki. 

Muttaqin, H. (2008). Menuju Sosiologi Profetik. Dimuat dalam Jurnal Sosiologi Reflektif, edisi perdana. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 

Shihab, Q. (2000). Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.

Wednesday, November 7, 2012

Sinergi Kampung dan RTH: Alternatif Solusi Masalah Lingkungan Perkotaan

Lomba esai nasional memperingati Hari Habitat Dunia 2011
Tema: Perumahan dan Kawasan Pemukiman ramah Lingkungan
Peringkat: Juara Nominasi III Kategori Mahasiswa
Pelaksana: Kementrian Perumahan Rakyat dan Sekretariat Nasional HABITAT Indonesia

I. Pendahuluan

A. Perubahan Iklim dan Fakta Perkotaan

Pemanasan global dan perubahan iklim masih menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Berbagai dampaknya secara tidak kita sadari sudah sangat merugikan. Pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di tempat yang lain. Tidak dapat diprediksinya kedatangan musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi petani karena musim tanam yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah hujan. Dampak lain yang juga dirasakan begitu dekat adalah betapa panasnya suhu di sekitar perumahan dan tempat tinggal kita.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, Hideyuki (2006) menyatakan bahwa industri, aktivitas perumahan, dan transportasi adalah tiga penyumbang utama dari emisi karbon. Emisi karbon inilah yang dibuang ke lingkungan alam sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan manusia (material flow) membuat gas buang seperti CO2, CH4 dan sebagainya makin bertambah di udara. Keadaan ini menyebabkan dampak rumah kaca dan pemanasan lingkungan dunia yang juga mengakibatkan kenaikan permukaan permukaan air laut, dan menyebabkan semakin rentannya kondisi lingkungan alam dan kehidupan manusia terhadap gangguan alam. Sehingga munculah sebuah resolusi bernama Protokol Kyoto yang berisi bahwa jumlah emisi serta gas-gas buang lain harus dapat berkurang pada tahun 2012 sebesar 5,2 % dari jumlah tahun 1990.

Beberapa data seperti yang dikeluarkan oleh IPCC disebutkan bahwa pemanasan global yang disebabkan oleh ulah manusia akan meningkatkan suhu global dunia sekitar 1,4 sampai 5,8 derajat Celcius terutama di perkotaan. Meningkatnya suhu dan pencemaran udara di perkotaan menjadi sangat tinggi akibat dari kegiatan manusia seperti transportasi, pembangunan lahan-lahan hijau, hingga dalam skala rumah tangga yaitu penggunaan AC (Sudomo dalam Zubaidah, 2008). Padahal di Indonesia, masyarakat sudah banyak tinggal di perkotaan. Diperkuat dengan data bahwa pada tahun 2009 ada sebanyak 50% penduduk Indonesia telah tinggal di perkotaan, atau sekitar lebih dari 120 juta jiwa (BPS, 2009). Telah membuktikan bahwa setengah peradaban manusia di Indonesia adalah peradaban urban yang tinggal di kota.

B. Rumusan Masalah

Dalam UU No 26. Tahun 2007, pasal 29 ayat 2 pun sudah ditegaskan bahwa RTH di perkotaan yang ideal paling sedikit adalah 30 % dari luas seluruh kota. Namun konversi fungsi lahan perkotaan serta keterbatasan lahan membuat penyediaan RTH di perkotaan sulit dilakukan. Sehingga untuk bisa menyediakan lahan tersebut, tak jarang kota-kota besar menggusur kampung-kampung warga untuk dijadikan Ruang Terbuka Hijau. Mengorbankan warga kampung kota menjadi solusi pragmatis dari usaha untuk menyelamatkan lingkungan. Untuk itu harus ada satu gagasan yang bisa mengakomodir masalah lingkungan kota dan masalah sosial-ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah dengan Sinergi Kampung dan RTH.

II. Tinjauan Pustaka

A. Kampung Kota

 Pemukiman kampung kota sangat mendominasi peruntukan lahan kota-kota di Indonesia (sekitar 70%) selain itu juga kampung menjadi satu tumpuan perumahan bagi penduduk kota, sekitar 70 sampai 85% (Kementrian Perumahan Rakyat, 2009). Saat pemerintah hanya mampu menyediakan sekitar 15% dari keseluruhan kebutuhan rumah perkotaan. Dengan demikian, saat membicarakan tentang kota di Indonesia, kita tidak akan bisa terlepas dari Kampung Kota. Kampung tidak hanya menjadi satu bagian sistem fisik perkotaan, tapi juga menjadi bagian dari sistem sosial perkotaan (Guiness, 1986).

B. Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau kota adalah bagian dari penataan ruang perkotaan yang juga berfungsi menjadi kawasan lindung, biasanya difungsikan sebagai taman, hutan kota, area rekreasi dan juga jalur hijau (Eko Budiharjo, 2010). Penyediaan RTH harus yang efektif dan efisien. Efektif dan efisien yang dimaksud adalah bahwa RTH harus mampu memberikan fungsi intrinsik (ekologi) dan juga fungsi ekstrinsik (sosial, budaya, ekonomi, estetika) bagi kawasan di sekitarnya (Permen PU No 5 Tahun 2008).

III. Pembahasan

A. Konsep Ide dan Manfaat

Dalam tulisan ini dimuat gagasan bahwa dua variable yang sering bertentangan dan menjadi konflik dalam penataan kota bisa digabungkan dengan cara mensinergikan kampung dan RTH. Konsep dasar ide ini adalah dengan mengakumulasikan luasan RTH per kampung yang kecil, tapi bila digabungkan dengan keseluruhan RTH di tiap kampung dalam satu kota akan terakumulasi RTH dengan jumlah yang besar dan distribusinya merata.

Untuk mensiasati agar berbagai kerusakan lingkungan dan pencemaran udara perkotaan bisa dikurangi dilakukan beberapa cara, salah satunya dengan meningkatkan jumlah luasan Ruang Terbuka Hijau. Hal ini dikarenakan tanaman adalah satu-satunya cara paling alami dan efektif dalam menetralisir jumlah emisi dan gas-gas buang lain di udara.

No
Tipe Pohon
Daya Serap CO2 (kg/ha/jam)
Daya Serap CO2 (ton/ha/tahun)
1
Pohon
129,92
569,07
2
Semak dan Perdu
12,56
55
3
Sawah
2,74
12
 Sumber: Ratri, 2010

Sedangkan kampung yang mendominasi peruntukan lahan kota-kota di Indonesia (sekitar 70%) sebagai sebuah perumahan padat seringkali menimbulkan masalah-masalah lingkungan seperti kekumuhan dan menutupi lahan-lahan konservasi seperti DAS. Namun dengan potensi mendominasi peruntukan lahan kota, kampung bisa menjadi lokasi RTH yang efektif. Tentu saja dengan tidak mengorbankan penduduk yang menempatinya. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, mengorbankan salah satu elemen pembangunan tentu saja bertentangan.

Dengan mensinergikan Kampung dan RTH diharapkan bisa memberikan nilai-nilai manfaat sebagaimana disebutkan dalam permen PU No 5 Tahun 2008:
• Nilai Ekologi
Lahan perumahan seperti kampung banyak memiliki masalah lingkungan baik itu polusi udara, polusi air tanah, dan lain-lain. Menempatkan RTH Kota pada kampung-kampung bisa mengatasi masalah lingkungan secara lokal (kampung) namun memberi manfaat secara global (kota).
• Nilai Sosial
Adanya RTH di kampung kota memberikan fungsi sebagai sarana rekreasi bagi warga. Sifatnya sebagai ruang publik juga bisa menjadi sarana berkumpul. Tentu saja memberi dampak sosial yang besar bagi warga.
• Nilai Ekonomi
RTH di kampung bisa dimanfaatkan sebagai apotik hidup atau tanaman produktif lainnya. Ini bisa memberikan nilai tambah ekonomi secara pasif bagi warga kampung.

B. Aplikasi Ide

Untuk mempermudah mencerna gagasan di atas maka beberapa contoh kasus akan dipaparkan pada bagian ini. Contoh ini mengambil kasus di salah satu perkampungan Kota Yogyakarta di Kelurahan Karangwaru.

1. Alisis kebutuhan RTH di kampung 
Misalnya jumlah warga kita asumsikan ada 167 KK dengan masing-masing KK memiliki 4 jiwa. Maka jumlah total warga : 167 x 4 = 668 jiwa. Standar baku kebutuhan Oksigen/jiwa = 840 gram/ hari, maka kebutuhan kebutuhan Oksigen warga Karangwaru adalah : 668 x 840 gram = 561120 gram/hari. Lalu hitung kebutuhan RTH dengan rumus: Maka kebutuhan RTH Kawasan Karangwaru adalah 5541,92 m2 atau sekitar 0,55 Ha dari total keseluruhan luas kawasan sebesar 4 Ha. Degan catatan bahwa variable jumlah kendaraan dan jumlah ternak dihilangkan. Sumber perhitungan di atas didapatkan dari Permen PU No 5 Tahun 2008 berikut:


2. Analisis Potensi Lokasi RTH 
Dalam kasus ini misalnya Karangwaru memiliki 10 titik potensi yang bisa dimanfaatkan sebagai RTH. Yang berpotensi menjadi RTH biasanya lapangan, lahan RW, lahan kosong, daerah aliran sungai, dan pekarangan warga.

 sumber: analisa penulis, 2011

3. Pembangunan RTH 
Lokasi-lokasi yang menjadi titik-titik yang digunakan untuk pembangunan RTH baik itu berupa taman RW, lapangan, taman rekreasi anak dan sebagainya. Asalkan perbadingan luasan area hijau dan area terbangun taman tidak lebih dari 80:20. Agar fungsionalitas RTH sebagai ruang resapan dan konservasi udara dan suhu tetap terjaga.
RTH memiliki manfaat lain berupa penurunan suhu lokal. Urban Heat Island atau fenomena peningkatan suhu lokal kawasan (kota, perumahan, dan kampung) adalah masalah yang banyak dialami oleh warga perkotaan dan mengganggu kenyamanan lingkungan perumahan. Dengan menambah jumlah RTH, suhu lingkungan perumahan bisa turun sekitar 3-5 derajat. Berikut adalah bukti dari contoh analisa suhu kawasan Karangwaru. Warna biru adalah lokasi sekitar lapangan dan taman RW menunjukan suhu udara yang lebih dingin dibandingkan suhu di tengah perumahan.

 sumber: analisa penulis, 2011

IV. Penutup

Dengan mendistribusikan RTH di tiap-tiap kampung maka kualitas lingkungan perkotaan bisa diselesaikan dari tingkatan terkecil (lokal kampung) hingga tingkatan terbesar (kota). Kampung yang dinilai kumuh dan sering menjadi korban penggusuran demi meningkatkan jumlah RTH perkotaan sekarang bisa menjadi kampung yang bersih dan hijau. Kualitas perumahan kampung kota pun meningkat dan ramah lingkungan. Dampaknya bagi kota, jumlah luasan standar RTH yang diatur dalam UU Penataan Ruang dengan luasan 30% dari total keseluruhan luas kota bisa dipenuhi. Kualitas udara kota serta air tanah pun bisa turut dijaga demi terciptanya kota yang ramah lingkungan, humanis, dan berkelanjutan.