Kinerja pelayanan publik di daerah selalu menjadi bahan diskusi yang tak kunjung selesai di era otonomi daerah ini. Dilaporkan oleh Ombudsman RI bahwa keluhan masyarakat terkait kinerja pemda menduduki peringkat pertama dari beberapa keluhan lainnya yang dilaporkan masyarakat kepada Ombudsman. Sebut saja Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang menduduki peringkat 5 besar tentang pengaduan buruknya pelayanan publik dengan jumlah total aduan sebanyak 109 laporan di tahun 2011 (pikiran-rakyat.com diakses Oktober 2012). Ada banyak jenis keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terkait buruknya pelayanan publik pemda-pemda tersebut namun yang paling banyak disampaikan yakni masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang seharusnya diperoleh secara menyeluruh. Seperti, perizinan, pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), pengajuan surat izin mengemudi (SIM), dan proses penerbitan sertifikat tanah yang kerap ada pungutan liar (pungli) ataupun adanya praktik calo.
Kasus Jawa Barat tersebut hanya sebagian kecil contoh buruknya pelayanan publik di daerah. Kemungkinan besar masih banyak lagi daerah dengan kualitas pelayanan publik yang sama atau bahkan lebih buruk lagi. Padahal tujuan dilaksanakannya otonomi daerah adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar. Kasus tersebut juga mengindikasikan bahwa profesionalitas dan kinerja para “pelayan” publik tersebut tidak optimal dan menyalahi aturan. Penyimpangan itu tentu saja melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Lebih tepatnya pada Pasal 34 yang mengatur perilaku pelaksana dalam pelayanan. Jika hal tersebut terus terjadi ditakutkan pemda-pemda di Indonesia akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang seyogyanya mereka layani dengan baik. Untuk itu perlu sebuah gagasan baru untuk mengubah sistem pelayanan publik di daerah. Salah satunya dengan peciptaan iklim wirausaha di sektor publik.
Pendekatan Wirausaha
Salah satu solusi yang banyak ditawarkan oleh para ahli pelayanan publik untuk mengatasi lemahnya kinerja pelayanan publik di daerah adalah konsep pelayanan publik entrepreneurial, yaitu pelayanan publik oleh pemerintah dengan jiwa wirausaha (entrepreneur). Hal ini sangat diperlukan karena desentralisasi, baik dalam konteks administratif maupun dalam konteks politik tidak akan bisa dijalankan secara efektif apabila aparatur pemerintahan daerah gagal mengembangkan kapasitasnya untuk mengelola proses pembangunan dalam konteks memberikan pelayanan kepada publik (Winarno, 2011). Osborne dan Plastrik menjelaskan konsep tersebut sebagai sebuah perubahan mendasar pada sistem pelayanan dan organisasi publik untuk menciptakan peningkatan yang besar dalam efektivitas, efisiensi, adaptibilitas, dan kapasitas untuk berinovasi. Diharapkan dari perubahan tersebut maka kualitas pelayanan publik menjadi lebih profesional.
Elemen-elemen utama dari pelayanan publik entrepreneurial antara lain (Tjokrowinoto, 2001):
(1). Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di dalam pasar;
(2). Mampu melakukan terobosan (breakthrough) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif;
(3). Mempunyai wawasan futuristik dan sistematik;
(4). Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan menimbulkan resiko;
(5). Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru;
(6). Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi;
(7). Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi.
Strategi dan Implementasi
Osborne, David, dan Plastrik (1992) dalam Winarno (2004) menjelaskan ada lima strategi yang bisa dilakukan di Indonesia untuk menerapkan konsep pelayanan publik bernuansa ‘wirausaha’ ini, antara lain:
1. Strategi Inti (the core strategy). Strategi ini menerangkan tentang tujuan (the purpose) sebuah sistem dan organisasi publik. Tanpa tujuan atau justru dengan tujuan yang saling tumpang tindih, maka kinerja sebuah organisasi publik dapat melemah karena ketidakefektifan usaha dalam pencapaian tujuan.
2. Strategi Konsekuensi (the consequences strategy). Menentukan insentif-insentif yang akan diberlakukan di dalam organisasi publik. Birokrasi dapat memberikan para pegawainya insentif yang kuat bagi mereka yang mengikuti peraturan serta mematuhinya.
3. Strategi Pelanggan (the customers strategy). Strategi ini memfokuskan pada pertanggungjawaban (accountability). Dengan strategi ini, masyarakat diposisikan sebagai pelanggan yang harus dilayani. Dengan begitu tanggung jawab para pelaksana pelayanan publik ditempatkan di masyarakat sebagai pelanggan dan berhak mendapatkan kepuasan (customer satisfaction).
4. Strategi Pengawasan (the control strategy). Dalam sistem birokrasi lama, proses pengambilan keputusan harus melalui jenjang hierakhi yang panjang sehingga membuat proses pengambilan keputusan cenderung lamban. Dengan mendistribusikan pembuatan keputusan kepada pejabat-pejabat dan karyawan atau pegawai birokrasi di bawahnya karena hal ini akan mendorong timbulnya rasa tanggung jawab di kalangan para pegawai birokrasi.
5. Strategi Budaya (the culture strategy). Berhubungan dengan budaya organisasi publik yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan harapan-harapan para pegawai dalam memberikan pelayanan publik. Budaya ini akan dibentuk secara kuat oleh 4 strategi sebelumnya yaitu: tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungan jawab, dan struktur pengambilan keputusan.
Selain memunculkan inovasi-inovasi baru dalam sistem pelayanan publik, pemerintah perlu mengatur pula bentuk-bentuk inovasi yang telah ada dan telah dipraktekkan oleh dinas, badan atau instansi dalam peningkatan pelayanan publik. Kerjasama penyelenggaraan pelayanan publik dengan pihak lain (swasta) dalam pemberian pelayanan publik, pengakomodasian hak dan kewajiban dalam pelayanan juga dirasa perlu. Penetapan standar pelayanan dan maklumat pelayanan sebagai sistem kontrol bisa pula dilakukan untuk membentuk jalur birokrasi agar tetap pada tujuannya. Serta pentingnya dukungan sistem informasi untuk mempermudah akses publik dalam pelayanan dan peran serta masyarakat juga harus diadopsi ke dalam bentuk-bentuk inovasi dalam pelayanan publik tersebut. Terakhir, pemerintah daerah juga hendaknya mengadakan acara sosialisasi kepada seluruh pejabat tentang pengetahuan yang berkenaan dengan kewirausahaan sektor publik, sehingga diperoleh pandangan yang sama diantara pejabat dan memudahkan untuk melakukan tindakan aksi penerapan konsep-konsep ini.
Beberapa inovasi berikut ini telah berhasil memberikan manfaat bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publiknya dengan cara:
(1). membuat kontrak pelayanan (Citizen Charter),
(2). peningkatan mutu dan kualitas pelayanan melalui Sistem Manajemen Mutu Terpadu (Total Qualitiy Managemen),
(3). penggunaan tehnologi dan informasi (E Government) serta
(4). kemitraan dengan pihak di luar pemerintahan/swasta (Public-Private Patnership).
Keempat inovasi tersebut dapat diadopsi oleh pemda-pemda yang masih menggunakan sistem pelayanan publik yang konvensional dan cenderung lamban. Penerapan keempat hal tersebut tentu tetap harus didukung oleh komitmen dari para pejabat untuk senantiasa memelihara iklim wirausaha di dalam organisasi publik.
Kesimpulan
Menumbuhkan iklim wirausaha dalam sektor publik memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Akan tetapi dengan keseriusan para pejabat publik dan pegawai pemerintahan dalam menelurkan inovasi baru bagi pelayanan publik, lompatan kesuksesan sebuah pemerintahan daerah akan dengan mudah diraih. Sudah banyak daerah yang membuktikan bahwa dengan cara melakukan percepatan birokrasi, kepuasan pelayanan publik masyarakat juga semakin meningkat. Amanah yang termaktub pada Pasal 4 UU No 5 Tahun 2009 juga menerangkan bahwa penyelenggaraan azas pelayanan publik berazaskan: kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiba, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktum kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Kesemua itu sejalan dengan prinsip yang dianut oleh pelayanan publik entrepreneurial.
Refrensi:
F. (2011). Pelayanan Publik Bergaya Wirausaha. Disampaikan pada “Leadership Series 2011” QB Leadership Center,F Cone - FX Plaza Lt.7 Jakarta, Rabu 23 Februari 2011.
Osborne, David, dan Plastrik, (1992). Banishing Bureaucracy, New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Winarno, B. (2004). Implementasi Konsep “Reinventing Govenment” dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Makalah disampaikan dalam Seminar nasional dengan judul ‘Penataan Birokrasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” Jawa Timur, Surabaya, Rabu, 14 Januari 2004.
Website:
www.ombudsman.go.id diakses Oktober 2012
www.pikiran-rakyat.com diakses Oktober 2012