Pages

Saturday, November 3, 2012

Perubahan Paradigma Perencanaan

Itulah judul salah satu slide yang disampaikan dalam kuliah umum oleh Prof Eko Budiharjo. Seorang pemerhati kota dan bangunan tua yang juga seorang mantan rektor Universitas Diponegoro. Beliau menjelaskan bahwa dalam perencanaan kota dan wilayah, ada beberapa pendekatan yang sudah berganti. Pendekatan itu berubah karena adanya perkembangan dan perbaikan dalam metode dan teknik perencanaan kota. Berikut adalah perubahan-perubahan paradigma yang sempat saya kutip dan coba kembangkan agar lebih sesuai dengan realita lapangan. 

Paradigma 1. Predict & Provide menjadi Debate & Decide 
Dalam analisa data sebuah kawasan, seringkali kita berpatok pada rumus-rumus normatif yang terbilang 'kaku'. Hasil dari analisa tersebut dijadikan satu patokan untuk membuat arahan kebijakan pembangunan kota. Atas dasar prediksi (predict) yang didapat dari analisa sudah cukup menjadi dasar dari penyediaan (provide) pelayanan. Padahal seringkali perhitungan matang sekalipun yang mengatasnamakan idealita, tidak sesuai dengan realita empiris. Untuk itu diskusi (debate) dan penentuan (decide) dalam penyusunan rencana yang nantinya menjadi sebuah kebijakan pembangunan dapat sesuai sasaran yang dekat dengan realita. Tentunya harus didukung dengan analisa lapangan yang tajam, cermat, peka namun fleksibel. 

Paradigma 2. Expert Solution menjadi Stakeholders Solution 
Bertahun-tahun mengenyam pendidikan dalam bidang perencanaan kota dan wilayah membuat seorang perencana merasa memiliki ilmu yang bisa diaplikasikan langsung di masyarakat. Padahal, tidak semua yang dirasa terbaik oleh seorang perencana merupakan hal yang baik bagi masyarakat. Bahkan bisa menjadi sesuatu yang buruk dan tidak sesuai dengan kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat sebagai stakeholders dari pembangunan perlu mendapatkan porsi yang sesuai. Peran masyarakat dalam memberikan pendapat dan saran kepada seorang perencana kota bisa menjadi satu kunci solusi dari masalah yang ada bila diolah dengan bijaksana. Ini juga berkaitan dengan kearifan-kearifan lokal di masyarakat yang kadang tidak diketahui oleh perencana-perancana kota. Jadi, jangan berpikiran bahwa ilmu yang kita bawa dan kita kuasai merupakan hal terbaik, masih banyak hal lain tidak kita ketahui yang nyatanya ada di dalam kehidupan masyarakat. Gunakan ilmu sebagai pisau analisa untuk mendapatkan solusi, bukan mentah-mentah menjadikanya solusi dari setiap masalah. 

Paradigma 3. Imitative menjadi Innovative 
Setiap kota dan wilayah memiliki keunikan dan identitasnya masing-masing. Tidak semua produk rencana bisa digunakan di wilayah yang sama. Perlu ada sebuah ide yang berbeda untuk satu wilayah yang berbeda walaupun wilayah itu memiliki berbagai variable kondisi kawasan yang mungkin hampir sama. Oleh karena itu dalam penyusunan rencana, 'menyontek' rencana yang berhasil di daerah lain belum tentu sesuai. Rencana yang dibuat memerlukan inovasi. Sekalipun inovasi yang dibuat tidak 'out of the box' setidaknya rencana tersebut memiliki adaptabilitas tinggi sehingga bisa diemplementasikan di wilayah terencana. 

Paradigma 4. Product Oriented menjadi Process Oriented Product Oriented 
Hanya berorientasi pada produk bisa dikatakan sebagai sebuah pemikiran pragmatis dalam penyelesaian masalah di kota dan wilayah. Yang terpenting dari rencana tersebut adalah hasil akhirnya (result). Terserah dalam pengerjaanya mau melalui prosedur dan tahapan yang seperti apa. Namun sekarang paradigma itu sudah berubah. Pengerjaan dan penyusunan rencana serta implementasinya harus melalui mekanisme dan prosedur yang sesuai tahapan. Bahwa secara garis besar proses perencanaan dibagi kedalam tiga tahap yaitu input (koleksi data), analisa (olah data), dan output (produk rencana). Ketiga tahapan itu pun masih terbagi ke dalam beberapa bagan kerja yang harus dilakukan dengan benar dan baik. Karena bagaimanapun hasil tetaplah menjadi tujuan utama. Jangan melongkap tahapan, karena “Proses yang baik akan menghasilkan keluaran yang baik.” 

Paradigma 5. Technocratic/Bureaucratic menjadi Democratic/Participatory 
Kita bisa menyebut kedua istilah ini dengan 'Top Down menjadi Bottom Up'. Sebagai arah kebijakan, sebuah rencana pembangunan sering menjadi regulasi yang kaku dan sangat birokratif. Segala kebutuhan penduduk biarlah dipenuhi oleh pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan. Tetapi, 'pagar' birokrasi sering tidak melihat realita empiris. Apa yang disediakan oleh pemerintah ternyata bukan merupakan kebutuhan (needs) yang dibutuhkan penduduk. Untuk itu, sifat perencanaan yang semacam ini harus dirubah dengan lebih mendengar suara masyarakat. Adanya partisipasi masyarakat dalam porsi yang tepat sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan akan memudahkan perencana dan pemerintah untuk membedakan kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) penduduk. Dengan begitu prioritas pembangunan bisa dipilih dan dipilah sesuai kebutuhan penduduk. 

Sebagai catatan: bila ingin mendalami  tentang paradigma partisipatif dapat membaca buku John Friedmann: Planning in The Public Domain dan artikel Sherry R. Arnstein: Ladder of Citizen Participation.
 
Pandega Wiratama, 12 Mei 2011

1 comment:

  1. Terimakasih mas ren :D
    sangat membantu ni buat tuga kuliah :D :D

    Lanthika pwk 2010

    ReplyDelete