Pages

Saturday, November 10, 2012

Nilai Profetik sebagai Karakteristik Muslim Indonesia

Lomba esai OCEAN 2012 (Olympiade Islamic Lesson and Essay Competition) 
Tema: Explore Your Talent To Be The Best Moslem Generation
Peringkat: Juara 3
Pelaksana: BPPI FE UNS

Mendiskusikan tentang jati diri tentu tidak akan lepas dari persoalan karakteristik, baik itu individu ataupun kelompok (bangsa, negara, dan agama). Memang realita yang terjadi saat ini bangsa Indonesia terutama umat Muslim Indonesia sedang dihadapkan pada krisis jati diri. Jati diri yang mulai terkikis seriring dengan memburuknya karakter yang semakin jauh dari nilai-nilai Illahiah. Berita korupsi, perkelahian dan kerusuhan, serta tindakan kriminal senantiasa menjadi topik berita yang tidak pernah absen sehari-harinya adalah sebuah contoh nyata yang tidak dapat kita tampikan. 

Terlebih lagi jumlah penduduk Indonesia dengan pemeluk agama Islam menempati posisi tertinggi di dunia. Menjadi konsekuensi logis apabila kenyataanya nilai-nilai Islam menjadi dominan di negara ini. Namun akan menjadi ironis bila fenomena-realita di lapangan justru tidak sejalan dengan nilai-nilai mayoritas yang ada di masyarakat, yaitu nilai Islam. Artinya, akan ada kemungkinan kredit-diskredit kepada agama Islam dan umatnya di Indonesia bila kondisi yang kontradiktif ini masih berlangsung. Indonesia, terutama umat muslim di negara ini seakan terpojok akibat citra yang tergambarkan bahwa bangsa muslim (muslim nation) tidak menjamin akan terciptanya kondisi masyarakat yang memiliki nilai-nilai keislaman yang tinggi. 

Lebih lanjut lagi, Madjid (2008: 403-404) menyatakan bahwa sikap menyadari bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa muslim sepatutnya tidak hanya menjadi sebuah realita kultural dan sosiologis, namun juga menjadi sebuah peringatan bagi kaum Muslim Indonesia. Kaum Muslim Indonesia dengan ajaran-ajaran Islam rahmatan lil alamin tentulah harus bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan karakteristik-karakteristik Islami di negara ini. 

Dengan realita yang sudah dipaparkan tersebut, maka pada awal tulisan ini penulis berikhtiar untuk mengungkap pertanyaan paling mendasar yaitu “Adakah konsep karakteristik Islami yang dicontohkan oleh Islam dengan sumber Al-quran dan Al-Hadist?” Pertanyaan ini hadir karena rasa penasaran tentang keberadaan contoh sifat dan sikap yang baik dari Islam itu sendiri. Tentu dengan penjelasan-penjelasan yang menyertainya. 

Hasil pencarian penulis untuk menjawab rumusan masalah yang pertama mengarah kepada firman Allah Swt. berikut ini: 

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (keselamatan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 21) 

Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Rasulullah Saw. merupakan contoh yang baik bagi manusia di berbagai bidang. Nilai kenabian tersebut atau juga disebut sebagai nilai profetik itulah yang harus menjadi orientasi manusia dalam pengembangan karakter (character building) dirinya. 

Profetik sendiri berarti nilai kenabian yang digali dari cara Rasul Saw. semasa hidupnya. Nilai profetik pun masih dipandang sebagai sebuah konsep karakter paling sukses dan adaptatif dalam membentuk tatanan kehidupan manusia berkualitas. Nilai ini selayaknya diimplementasikan ke dalam model kehidupan di berbagai lingkup: organisasi sosial, perdagangan, pendidikan, pemerintahan, dan lainya (Mujtahid, 2011). 

Menurut Ustadz Syafi’i Antonio, nilai profetik adalah esensi yang sepatutnya mendasari gerak langkah manusia dalam beraktivitas apapun bentuknya (berdagang, berpolitik, berkeluarga, dan sebagainya). Namun realita yang ada, masyarakat Muslim Indonesia justru melupakan esensi dari sifat-sifat kerasulan Nabi Muhammad Saw. Rasul tidak dibawa dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik masyarakat. Saat seseorang berdagang, ia lupa bagaimana cara berdagang Rasul. Saat seseorang berpolitik, ia lupa bagaimana cara berpolitik Rasul. Rasul Saw. menjadi sosok yang dekat, namun esensinya sebagai sosok suri teladan dilupakan. 

Nilai-nilai profetik dapat dipelajari dari sifat-sifat kenabian yang ada pada diri Rasul Saw. Berikut inilah sifat-sifat kenabian Rasul Saw. yang bisa menjadi inspirasi bagi seorang muslim muda dalam pembentukan jati diri kepemimpinan yang islami (Mujtahid, 2011): 

a. Sidiq (Integrity) 
Secara sederhana sifat sidiq dapat diartikan sebagai kejujuran. Namun secara luas, sidiq juga merupakan sebuah integritas moral yang dimiliki oleh seseorang. Kejujuran dinilai sebagai sebuah modal mendasar dalam membentuk integritas. Kejujuran ini juga merupakan wujud nilai-nilai transendental yang mengarah pada kebenaran yaitu Allah Swt (QS Al Maaidah: 8). Sifat jujur dapat dilatih dengan cara mendapatkan rizki yang halal. Rizki yang halal (didapatkan dengan cara jujur) adalah hal mendasar dari pembentukan integritas karena kejujuran adalah sifat yang hanya dapat dinilai oleh diri sendiri. 

b. Amanah (Responsible) 
Amanah juga dapat diartikan sebagai sifat terpercaya. Sifat ini melatih seseorang pada sifat bertanggung jawab dan dapat diandalkan (QS Al Anfaal: 27). Karakter amanah akan dapat mengasah seseorang dalam memilah dan memilih antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik (QS An Nissa: 58). Karakter ini dapat dilatih dengan cara mengemban tugas. Tugas yang berat akan semakin membentuk kualitas amanah yang baik pada diri seseorang. Oleh sebab itu jangan pernah takut untuk mengambil sebuah kepercayaan untuk memimpin dan menjalankan tugas. 

c. Fathanah (Smart) 
Fathanah adalah karakter seseorang dengan kualitas diri (capacity building) yang baik. Kualitas diri mencakup pada kecerdasan spiritual dan intelektual (QS. Al Mujaadilah: 11) dan keterampilan (skillful). Kecerdasan akan memberikan kepekaan seseorang dalam mengambil keputusan dan memecahkan masalah. Sifat ini dapat dilatih dengan selalu menjadi pembelajar yang baik seumur hidup dengan berbagai cara yang didapat dari pengalaman diri sendiri, pengalaman orang lain, buku, dan berbagai sumber lainnya (QS Al Alaq: 3-5)

d. Tabligh (Communicative) 
Tabligh dapat pula diartikan sebagai kemampuan komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif (Al Hajj: 24), maka seseorang dapat dengan mudah untuk menyampaikan visi dan misinya kepada orang lain (Az Zumar: 18). Komunikasi juga dipercaya sebagai kunci kesuksesan nomor satu. Karakter ini dapat dilatih dengan cara berani berbicara di depan publik dan berani menyampaikan pendapat. 

e. Istiqomah (Consistent) 
Sebuah perubahan ke arah kebaikan tentu membutuhkan peningkatan yang berkelanjutan (continuous improvement). Kerja berkelanjutan membutuhkn niat (commitment) yang total sebagai dasarnya. Ketotalan tersebut dapat ditumbuhkan dengan memurnikan niat perjuangan kita hanya untuk mendapatkan ridho Allah Swt. semata (QS Al Ahqaaf: 13). Dengan niat yang total maka usaha seseorang akan menjadi sungguh-sungguh, pantang menyerah, serta tekun dalam meraih perubahan. 

f. Mahabbah (Care) 
Mahabbah dapat pula diartikan sebagai kepedulian atau kasih sayang. Islam mengajarkan seseorang untuk saling mengasihi dan saling peduli (QS An Nuur: 22), tanpa kebencian dan tanpa paksaan. Karakter ini sangat dibutuhkan oleh Indonesia ditengah krisis ekonomi yang sedang melanda negri ini. Dengan kasih kepedulian dan kasih sayang, maka orang tanpa segan akan membantu orang lain dengan ikhlas. Karakter ini dapat dilatih dengan menjadi seorang donatur, melakukan puasa, dan mau mendatangi panti asuhan serta kawasan kumuh walaupun hanya sekedar memberi empati pada saudara sesama muslim yang kurang beruntung. 

g. Ma’ruf (Wise) 
Ma’ruf dapat pula diartikan baik dan arif. Menjadi pribadi yang baik dan arif sekaligus menciptakan kebaikan dan kearifan di masyarakat adalah wujud ketaatan pada Allah Swt (QS Ali Imran: 104). Seseorang yang baik nan arif akan mendapatkan simpati dari orang lain. Simpati inilah yang akan membuat orang yakin dan akhirnya percaya kepada seseorang. Karakter ini dapat dilatih dengan cara selalu mengingat Allah Swt. Dengan selalu mengingat Allah Swt. maka kita senantiasa taat terhadap perintah-perintah Allah Swt. sebagai wujud keimanan transendensi kepadaNya. 

Kedelapan sifat itulah yang penulis sebutkan sebagai sifat profetik atau kenabian. Sifat-sifat yang sepatutnya menjadi pedoman seseorang untuk membentuk karakter diri (character building) demi meningkatkan kualitas diri secara vertikal (hablun min Allah) maupun horizontal (hablun min al-nas)

Selain sifat-sifat tersebut, ada pula tugas-tugas yang memiliki esensi kenabian atau profetik. Tugas-tugas profetik ini didasari pada pendapat Kuntowijoyo dalam Muttaqin (2008) tentang ilmu sosiologi profetik dengan mengacu pada penggalan ayat suci Al-quran sebagai berikut: 

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mengajak kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” (QS Ali Imran [3]: 110) 

Tugas profetik ini menjadi hakikat tujuan manusia diciptakan di muka bumi ini karena bersifat transformatif atau mengarah pada perubahan. Adanya sifat tanpa sebuah tugas di masyarakat akan membuat manusia kesulitan untuk mengaktualisasikan karakteristiknya tersebut. Tugas tanpa dibungkus oleh karakter profetik tidak akan memberikan usaha dan kerja yang baik. Kemungkinan yang terjadi justru tindakan kekerasan dan pemaksaan atas nama pemenuhan kewajiban perintah Allah Swt. Dengan kata lain keterkaitan antara sifat profetik dengan tugas profetik yang ada pada diri manusia sangatlah tinggi. 

Ada tiga hal penting berkaitan dengan tugas-tugas manusia yang dapat diambil dari penjelasan ayat tersebut untuk membentuk jati diri dan peradaban umat Islam Indonesia yang berkarakter Islami: 

a. Amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) 
Kutowijoyo memberikan istilah lain pada amar ma’ruf sebagai humanisasi. Humanisasi adalah satu cara untuk memanusiakan manusia atau dengan kata lain adalah saling berbuat kebaikan atau mengajak kepada kebaikan. Al quran menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan yang senantiasa harus dilakukan oleh manusia antara lain: mendirikan solat, menunaikan zakat, menyayangi anak yatim piatu, berbakti pada orang tua, menyayangi kerabat, menepati janji dan ada banyak sekali bentuk kebaikan-kebaikan yang diajarkan oleh Islam dalam Al qur’an dan Hadist. Kebaikan-kebaikan inilah hendaknya selalu ditegakan dan diserukan oleh Umat Islam (QS Al Baqarah: 83 & 177)

b. Nahi munkar (mencegah kejahatan) 
 Kuntowijoyo memadankan istilah nahi munkar dengan liberasi, sebuah semangat pembebasan dan perlawanan. Kejahatan yang terjadi di dunia ini memang lebih banyak disebabkan karena adanya ketidak adilan dan berbagai bentuk penindasan. Sebagai contoh kemiskinan yang terkadang memicu tindakan kriminal disebabkan karena adanya ketidakadilan sosial ekonomi di masyarakat. Tidak hanya dalam sistem ekonomi saja, pembebasan yang dimaksudkan juga merupakan pembebasan pada sistem sosial, politik, serta pengetahuan. Nahi munkar dan semangat pembebasan inilah yang harus diserukan oleh Umat Islam (QS Al Maidah: 8). Bentuk-bentuk kejahatan dan penindasan yang digambarkan Al-Quran antara lain: pembunuhan, perzinahan, pencurian (korupsi), ketidakdilan dan kebohongan (kolusi dan nepotisme) dan masih banyak lagi. Seyogyanya seorang muslim justru melakukan perlawanan terhadap tindakan-tindakan ini, bukan justru terlibat atau bahkan menjadi pelaku utama tindakan-tindakan kejahatan. 

c. Tu’minuu nabillah (beriman kepada Allah) 
Perihal ketiga ini adalah hal yang paling penting yang mendasari amar’maruf nahi munkar di atas yaitu keimanan kepada Allah Swt yang bagi Kuntowijoyo dapat dipadankan dengan istilah transendensi. Nilai ketuhanan ini hendaknya menjadi nilai-nilai poros dalam proses pembangunan jati diri umat (QS Al Hadid: 3). Nilai ini pulalah yang berperan dalam mengarahkan tujuan hidup umat Muslim Indonesia.

Dengan membentuk karakter dan sifat kenabian serta menjalankan tugas kerja kenabian di atas, maka perdaban Islami di Indonesia InsyaAllah dapat dibangun. Jati diri umat Islam yang selama ini terkikis dapat kembali dibentuk. Keterpojokan umat Islam Indonesia karena tidak dapat menciptakan kondisi masyarakat yang adil dan sejahtera dapat diputarbalikan. Tentu dengan senantiasa berdoa dan mengharap kemudahan dari Allah Swt. dalam melakukan perjuangan dan perubahan bagi agama, nusa, dan bangsa. 

Daftar Pustaka 

Al-quran. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. 

Agustian, A. G. (2001). Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga. 

Madjid, N. (2008). Islam, Doktrin, dan Peradaban. Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat. 

Mujtahid, (2011). Tujuh Karakteristik Kepemimpinan Profetik. Malang: UIN Maliki. 

Muttaqin, H. (2008). Menuju Sosiologi Profetik. Dimuat dalam Jurnal Sosiologi Reflektif, edisi perdana. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 

Shihab, Q. (2000). Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.

No comments:

Post a Comment